Tentang Rubiyah
Pada masa kecil Rubiyah adalah seorang gadis desa biasa. Ia dilahirkan di desa Matah. Ayahnya bernama Kyai Kasan Nuriman, seorang ulama Desa Matah yang mempunyai nama kecil Bisman. Sebagai seorang yang hidup di zaman yang mengutamakan nilai spiritual Kyai Kasan Nuriman dikenal sangat menjunjung tinggi asketisme atau laku prihatin, sehingga ia mampu melihat hal-hal yang gaib. Kemampuannya ini dirasakan ketika ia menjumpai hal yang tidak wajar pada diri Rubiyah ketika anak itu berusia sekitar sembilan tahun. Pada suatu malam Selasa Kliwon, Kyai Kasan Nuriman melihat api menyala pada kepala Rubiyah yang sedang tidur. Merasa terkejut ia mencoba mengusap kepala anaknya. Anehnya kepala anak itu tidak terasa panas. Tidak berapa lama ia juga menyaksikan lagi cahaya memancar dari bagian tubuh lain. Sebagai orang Jawa gejala ini ditangkap sebagai isyarat supaya ia dituntut tetap tekun mendekatkan diri kepada yang Kuasa, agar senantiasa pasrah kepada kehendak Yang Maha Kuasa. Hasrat ketekunan ini diwujudkan pada laku tidak tidur setiap hari Selasa Kliwon. Tanpa disadari kebiasaan ini telah dilakukan hingga Rubiyah berusia 14 tahun.
Ternyata jalan hidup Rubiyah berubah sejak usia itu. Dalam kaitan ini pentas wayang kulit di Nglaroh menjadi penghantar perubahanitu. Nglaroh adalah wilayah kekuasaan dari Raden Mas Said yang ketika membantu Sunan Kuning melawan Belanda, ia mendapat gelar Pangeran Prangwedana. Sekembalinya di Nglaroh ia selalu mengadakan hiburan bagi sejumlah prajurit dan warga setempat berupa pertunjukan tari dan wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit selalu menjadi kegemaran warga, termasuk para gadis desa. Ketika pertunjukan sampai pada larut malam banyak gadis tertidur di sekitar tempat pentas wayang kulit. Ketika Pangeran Prangwedana melihat di sekeliling pentas betapa ia dikejutkan oleh sinar terang yang terpancar dari bagian tubuh salah seorang gadis yang sedang tidur itu. Kemampuannya dalam membaca isyarat akan kelebihan dari gadis itu memaksa Prangwedana memotong sedikit kain yang dipakai gadis itu. Keesokan harinya ia mengutus abdinya untuk mencari gadis pemilik potongan kain tadi. Diketahui gadis itu bernama Rubiyah. Ternyata Prangwedana sangat terpesona dengan Rubiyah. Selanjutnya kepada Kyai Kasan Nuriman dilamarlah gadis itu untuk menjadi isterinya.
Sejak menjadi isteri Pangeran Prangwedana nama Rubiyah diganti menjadi Raden Ayu Matah Ati. Kesetiaan dalam mendampingi suami dan perannya sebagai pejuang Laskar Puteri menjadikan Matah Ati inspirasi utama perjuangan Prangwedana. Perkawinan dengan Prangwedana melahirkan dua putera yaitu Kangjeng Pangeran Arya Prabu Amijaya dan Raden Ayu Sombra. Sebagai prajurit puteri Matah Ati berjuang hingga tegaknya pemerintahan Mangkunegaran. Setelah itu ia mendapat gelar Bendara Raden Ayu Mangkoenagoro Sepuh. Sebagai seorang ibu betapa senangnya seandainya sempat menyaksikan putera atau cucunya sukses. Namun nasib menentukan lain. Ia tidak sempat menyaksikan cucunya Raden Mas Slamet diangkat menjadi Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Prangwedana II. Pada 1787 ia meninggal mendahului suaminya. Ia dimakamkan di daerah asalnya, Nglaroh.
Fakta Sejarah di tulis oleh :
– Sudharmono S,U – dosen jurusan fakultas sastra dan seni rupa universitas sebelas maret surakarta
– Drs. Susanto , M. Hum – dosen jurusan sejarah fakultas sastra universitas sebelas maret surakarta